Demokrasi Militan

Demokrasi Militan

Oleh: Muchamad Ali Safa’at
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Keputusan bersama menteri tentang Larangan Kegiatan dan Penggunaan Simbol FPI (SKB FPI) adalah keputusan berani. SKB ini tidak membubarkan FPI karena memang FPI tidak memiliki badan hukum, bukan subyek hukum. SKB ini melarang kegiatan dan penggunaan simbol FPI yang secara nyata memang ada di masyarakat. Keputusan ini pasti mengundang kritik mulai dari para pendukung FPI hingga para aktivis HAM. Bahkan, secara politik keputusan ini pasti semakin mengurangi kepercayaan dari sebagian kelompok masyarakat.
Keputusan pembubaran dan pelarangan organisasi selalu satu paket, karena tanpa pelarangan pembubaran menjadi tidak bermakna. Tanpa pelarangan orang dapat membuat organisasi yang sama setelah dibubarkan. Bahkan di beberapa negara, Jerman dan Thailand misalnya, pembubaran dapat disertai larangan berorganisasi bagi pengurus atau anggotanya.
Pembubaran dan pelarangan organisasi bukan hal baru di Indonesia. Sudah pernah terjadi baik pada masa orde lama, orde baru, maupun reformasi. Bedanya, pembubaran dan pelarangan pada masa orde lama dan orde baru mendapat “permakluman” karena terjadi pada rejim otoritarian. Sebaliknya, pembubaran dan pelarangan di masa reformasi menimbulkan paradok, berlawanan dengan semangat demokrasi yang diusung.
Demokrasi adalah sistem yang paling toleran terhadap perbedaan. Hal ini bermuasal dari hakikat demokrasi yang mengakui kesedaratan manusia yang berakal budi. Konsekuensinya, setiap orang memiliki kebebasan berkeyakinan, beragama, dan memanifestasikan dalam kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Wajar jika pelarangan keyakinan dan organisasi tertentu memunculkan kritik karena berjarak dengan karakter demokrasi.
Karakter yang toleran membuat demokrasi menjadi sistem paling rapuh, kesulitan mempertahankan diri terhadap ancaman terhadap keberlanjutan demokrasi itu sendiri. Sistem yang otoriter lebih mudah mempertahankan diri karena dapat menggunakan kekuasaan mulai dari monopoli kebenaran hingga represi yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan.
Salah satu ancaman terhadap keberlanjutan demokrasi berasal dari organisasi atau kelompok masyarakat yang menentang nilai dasar demokrasi. Organisasi ini hadir dan berkembang menggunakan dalih kebebasan yang dijamin di alam demokrasi, bahkan dapat mengikuti pemilihan umum. Di sisi lain organisasi ini memiliki tujuan mengganti demokrasi dengan sistem yang akan menghilangkan kebebasan itu sendiri. Apakah demokrasi harus menoleransi keyakinan dan organisasi yang mengancam kebebasan dan keberlanjutan tatanan demokrasi? Pertanyaan ini dijawab oleh doktrin demokrasi militan (militant democracy).

Demokrasi Militan
Demokrasi militan adalah doktrin yang menentukan batas toleransi terhadap keyakinan dan organisasi yang bertentangan dan melawan sistem demokrasi. Doktrin ini lahir di Jerman untuk memperbaiki kesalahan pada masa Republik Weimar yang menoleransi organisasi ekstrim antidemokrasi yang pada akhirnya memunculkan rejim Hitler.
Doktrin ini berisi prinsip bahwa negara tidak hanya berhak melainkan wajib menjamin kelestarian demokrasi. Negara wajib bertindak ketika ada organisasi tertentu yang mengancam demokrasi, karena hilangnya demokrasi dengan sendirinya akan menghilangkan jaminan kebebasan dan perlindungan HAM. Negara demokrasi tidak boleh netral menghadapi musuh yang akan menghancurkan demokrasi.
Doktrin demokrasi militan memberikan pembenaran bahwa hak berkeyakinan dan berorganisasi dapat dibatasi melalui pembubaran dan pelarangan. Salah satu ukuran yang digunakan adalah ketika suatu organisasi memiliki tujuan mengganti sistem demokrasi dan atau dalam menjalankan kegiatannya bertentangan tatanan masyarakat demokratis. Doktrin demokrasi militan ini dianut oleh UU Partai Politik dan UU Ormas dalam bentuk kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi disertai dengan ancaman sanksi pembubaran. Ukuran yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang tegas menganut sistem demokrasi.
Secara substansial, pelarangan FPI adalah manifestasi doktrin demokrasi militan. Hal ini dapat dilihat dari konsideran menimbang SKB FPI yang memuat dua pelanggaran. Pertama, Visi dan Misi FPI sebagaimana tertuang di dalam Pasal 6 Anggaran Dasar FPI adalah “Penerapan Syariat Islam secara Kaaffah di bawah naungan Khilaafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan Da’wah, penegakan Hisbah dan Pengamalan Jihad”. Indonesia bukanlah negara Khilaafah Islamiyyah, melainkan negara demokrasi yang melindungi segenap golongan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Frasa “di bawah naungan Khilaafah Islamiyyah” menunjukkan bahwa orientasi FPI adalah membentuk Khilaafah Islamiyyah, bukan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Upaya membentuk Khilaafah Islamiyyah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini telah dinyatakan pula dalam putusan pengadilan mengenai pembubaran HTI, yaitu Putusan Pengadilan Nomor No.211/G/201/PTUN.JKT yang dikuatkan dengan putusan Banding dan Putusan Kasasi Nomor Nomor 27 K/TUN/2019 .
Kedua, FPI sering melakukan ancaman atau tindakan kekerasan, baik verbal maupun fisik. Tindakan tersebut antara lain berupa sweeping, pembubaran acara tertentu, dan memaksa orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam tatanan negara demokrasi konstitusional, penggunaan ancaman dan tindakan kekerasan adalah monopoli negara yang dilakukan dalam koridor hukum. Jika setiap organisasi dibiarkan melakukan kekerasan, walaupun terhadap pelanggaran hukum, yang terjadi adalah kekacauan. Tatanan sosial demokratis yang mengutamakan dialog ide dan gagasan akan digantikan dengan pertarungan kekuatan dan keberingasan. Pada titik ini demokrasi telah digantikan dengan anarki. Oleh karena itu ketentuan Pasal 59 ayat (2) huruf e UU Ormas melarang organisasi melakukan tindakan yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum.

Batasan Prosedural
Kelemahan doktrin demokrasi militan adalah potensi diterapkan secara eksesif, sebagai legitimasi memberangus perbedaan keyakinan dan menumpas lawan politik. Untuk mengantisipasi potensi ini, penerapannya sebagai bentuk pembatasan HAM harus mempertimbangkan asas nesesitas dan proporsionalitas. Pelarangan keyakinan dan organisasi harus merupakan upaya akhir yang digunakan berdasarkan penilaian obyektif apakah memang benar-benar diperlukan untuk menjaga keberlanjutan demokrasi, dan apakah sebanding antara hak yang dikorbankan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Penilaian obyektif hanya dapat dilakukan oleh pengadilan sebagai organ negara yang merdeka dari pengaruh kepentingan politik. Pembubaran oleh pemerintah sangat rawan penyalahgunaan dan bias kepentingan poltik. Venice Commission menyatakan bahwa pembubaran dan pelarangan organisasi harus diputuskan oleh pengadilan dengan menjamin adanya due process of law, keterbukaan, dan keadilan. Forum pengadilan juga diperlukan untuk memilah antara tindakan yang seharusnya menjadi tanggungjawab pribadi dengan tindakan yang menjadi kebijakan organisasi. Pembubaran dan pelarangan organisasi tidak dapat dilakukan atas dasar tindakan individu anggota yang menyimpang dari garis kebijakan organisasi. Apalagi jika pembubaran dan pelarangan disertai pencabutan hak berorganisasi, tentu hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.
Model pembubaran dan pelarangan melalui pengadilan pernah dianut berdasarkan UU 17/2013 tentang Ormas. Sayang mekanisme tersebut diubah dengan Perppu 2/2017 yang ditetapkan menjadi UU dengan UU 16/2017 tentang Perubahan UU Ormas. Pembubaran dan pelarangan menjadi dapat langsung dilakukan oleh pemerintah. MK melalui Putusan Nomor 2/PUU-XVI/2018 pun menilai bahwa pembubaran yang dilakukan oleh pemerintah tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena masih dapat diajukan ke pengadilan.
Penilaian obyektif dan terbuka yang menjamin due process of law kini berada di tangan pengadilan, yaitu pengadilan tata usaha negara (TUN). Perkara ini tentu berbeda dengan perkara TUN biasa. Hakim tidak hanya memeriksa dan mengadili fakta dan prosedur dikeluarkannya suatu putusan TUN, tetapi juga harus menilai apakah suatu keyakinan atau visi mengancam keberlanjutan demokrasi, apakah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Tugas Perbantuan TNI

Tugas Perbantuan TNI

Oleh: Muchamad Ali Safa’at
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Video viral anggota TNI menurunkan baliho ikut mewarnai riuhnya ruang publik paska kepulangan Muhammad Rizieq Syihab. Tetiba banyak yang mengkritik hal itu di luar tugas konstitusional TNI. Kritik bukan hanya dari masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap reformasi TNI, tetapi juga dari organisasi yang memiliki rekam kekerasan semacam FPI. Tindakan penurunan baliho itu mendorong munculnya narasi dan persepsi bahwa TNI tidak lagi menjadi alat negara, melainkan alat kekuasaan politik berhadapan dengan warga negara sendiri.
Polemik peran TNI di luar pertahanan negara juga mengemuka saat pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Terorisme. Sebelumnya, sudah muncul polemik terkait MoU antara Kapolri dengan Panglima TNI tentang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut data Imparsial (2019), TNI telah memiliki 41 MoU dengan kementerian/lembaga yang dijadikan sebagai dasar keterlibatan TNI di luar pertahanan negara. Soal ini mendapat perhatian hanya dari organisasi sipil, beda jauh dengan reaksi terhadap tindakan TNI saat penurunan baliho.
Ketentuan yang dijadikan dasar keterlibatan TNI di luar pertahanan negara adalah operasi militer selain perang (OMSP) yang diatur dalam UU 34/2004 (UU TNI). OMSP dapat dilakukan untuk 14 hal, mulai dari mengatasi gerakan separatis bersenjata hingga membantu pemerintah dalam pengamanan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Di dalamnya juga termasuk OMSP untuk mengatasi aksi terorisme dan membantu tugas pemerintahan di daerah.
Walaupun peran TNI di luar Pertahanan Negara dapat dilakukan dan memang diperlukan, namun perlu memiliki kerangka dan batasan jelas. Sebagian OMSP harus diletakkan sebagai tugas perbantuan TNI, dengan proporsi yang berbeda-beda untuk tiap jenis perbantuan. Tanpa kerangka dan batasan sebagai tugas perbantuan akan menimbulkan dua dampak negatif. Pertama, tugas perbantuan dapat menyita sumber daya dan menggeser serta melemahkan jati diri TNI sebagai tentara profesional yang mahir menggunakan peralatan militer, bergerak, menggunakan alat tempur, dan melaksanakan tugas secara terukur untuk mempertahankan negara melalui operasi militer perang. Kedua, tugas perbantuan dapat menyeret TNI menjadi alat kekuatan politik partisan dan berhadapan dengan kelompok warga negara tertentu. Kekuatan struktur komando TNI yang netral sejatinya adalah kekuatan politik tersendiri yang sangat berpengaruh. Tidak heran jika dalam setiap perhelatan politik selalu menjadi rebutan atau dimanfaatkan oleh pucuk pimpinan TNI sendiri yang berniat terjun ke politik praktis.

OMSP dan Tugas Perbantuan
Tugas Perbantuan TNI adalah konsekuensi pemisahan TNI dan Polri sebagai salah satu agenda reformasi melalui Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000. Pemisahan merupakan bagian dari upaya demokratisasi yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI dan Polri akibat penggabungan keduanya di masa Orde Baru. Kerancuan menimbulkan rangkaian pelanggaran HAM dan menjadi alat mematikan demokrasi.
TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara sedangkan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Walaupun keduanya memiliki peran berbeda dan terpisah, namun harus bekerja sama dan saling membantu. Perbantuan TNI tentu tidak hanya kepada Polri, namun juga terhadap penyelenggara pemerintahan lain khususnya untuk kegiatan kemanusiaan.
Peran perbantuan TNI dilandasi oleh dua argumen. Pertama, pertahanan negara tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan penyelenggaraan tugas bidang lain. Ancaman yang menjadi tugas utama TNI adalah ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa (Pasal 6 ayat (1) UU TNI). Gangguan keamanan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata di dalam negeri adalah tanggungjawab Polri, namun gangguan keamanan itu pada tingkat eskalasi tinggi dapat berkembang menjadi ancaman bagi pertahanan negara. Penanggulangan bencana alam adalah tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah, namun bencana besar yang mematikan adalah juga ancaman terhadap keselamatan bangsa.
Kedua, TNI memiliki sumber daya personel dan peralatan yang memadai. Peralatan itu tentu bukan hanya peralatan perang, melainkan juga peralatan transportasi, peralatan berat, tenda darurat, dan peralatan penyediaan logistik. Sumber daya itu dapat digunakan di luar kepentingan pertahanan dan sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat pada waktu tertentu, yaitu pada saat menghadapi bencana.
14 bentuk OMSP yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf b UU TNI dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam. Pertama, OMSP yang sepenuhnya merupakan tugas perbantuan yang meliputi (1) mengatasi aksi terorisme; (2) mengamankan objek vital nasional; (3) memberdayakan wilayah pertahanan; (4) membantu tugas pemerintahan di daerah; (5) membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban; (6) mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintahan asing di Indonesia; (7) menanggulangi akibat bencana alam; (8) membantu pencarian dan pertolongan; dan (9) membantu pengamanan pelayaran dan penerbangan.
Kedua, OMSP yang dalam kondisi normal merupakan tugas perbantuan, namun pada skala atau status kondisi tertentu (misalnya dalam status darurat militer) dapat menjadi tugas TNI sepenuhnya. OMSP kategori ini adalah OMSP untuk mengatasi gerakan separatisme bersenjata dan mengatasi pemberontakan bersenjata. Ketiga adalah OMSP yang memang menjadi tugas TNI sepenuhnya, meliputi mengamankan wilayah perbatasan, melaksanakan tugas perdamaian dunia, dan mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.
Peran TNI di bidang pertahanan maupun di luar pertahanan dalam rangka tugas perbantuan dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hal ini dimaksudkan guna menjaga peran TNI tetap selalu menjadi alat negara bukan alat kepentingan kelompok kekuasaan atau politik tertentu. Selain itu, adanya kebijakan dan keputusan politik negara juga untuk menjamin tidak mengganggu TNI sebagai tentara profesional yang siap sedia setiap saat dikerahkan dalam operasi perang.

UU Perbantuan TNI
Bentuk formal kebijakan dan keputusan politik negara adalah UU. Tugas perbantuan TNI tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan MoU yang dibuat oleh Panglima TNI dengan kementerian/lembaga. Panglima TNI adalah pelaksana kebijakan dan keputusan politik negara. Pembentuk kebijakan dan keputusan politik negara adalah lembaga negara yang mendapatkan mandat sesuai dengan mekanisme demokrasi, yaitu DPR dan Presiden yang bersama-sama memiliki kewenangan membentuk UU. Berdasarkan kerangka kebijakan di dalam UU, Presiden membuat keputusan politik negara.
Demi menjaga jati diri TNI sebagai alat negara, sebagai tentara profesional, dan agar terhindar dari jebakan politik praktis, diperlukan adanya UU Perbantuan. RUU ini telah masuk dalam prolegnas 2020 – 2024 yang diusulkan oleh DPR. Sayangnya hingga saat ini belum ada RUU dan sama sekali belum ada langkah untuk memulai pembahasan.
Terdapat lima hal yang perlu diatur di dalam UU Perbantuan. Pertama adalah ruang lingkup tugas perbantuan yang dapat dilakukan oleh TNI. Klasifikasi pertama dan kedua OMSP menjadi acuan dalam menentukan ruang lingkup tugas perbantuan TNI. Kedua adalah pengaturan mengenai bentuk dan peran perbantuan. Bentuk meliputi jenis dan besaran sumber daya yang dapat diperbantukan agar proporsional dengan kebutuhan dan tidak melemahkan profesionalisme TNI. Peran adalah tugas dan tanggungjawab TNI dalam perbantuan yang perlu dibatasi agar tidak eksesif. Tugas dan tanggungjawab dalam perbantuan tentu tidak boleh mengambil alih atau lebih besar dari tugas dan tanggungjawab kementerian/lembaga yang dibantu.
Ketiga adalah jangka waktu perbantuan. Pada prinsipnya tugas perbantuan memiliki jangka waktu tertentu, tidak boleh bersifat permanen agar tidak melahirkan ekspansi seperti doktrin dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru. Ketiga adalah prosedur perbantuan, yaitu kriteria keadaan atau kegiatan yang dapat meminta bantuan TNI serta prosedur dan otoritas yang dapat mengajukan dan memberikan perbantuan. Hal ini diperlukan untuk memastikan pengerahan dan pergerakan sumber daya dan personel TNI ada di dalam kontrol komando TNI.
Terakhir, yang kelima adalah akuntabilitas baik pelaksanaan kegiatan maupun anggaran yang digunakan. Kegiatan harus dipastikan diketahui oleh struktur komando dan masyarakat. Anggaran tugas perbantuan perlu diatur secara tegas aspek dan kegiatan apa yang dapat dibiayai oleh kementerian/lembaga (khususnya pemerintah daerah). Pengaturan anggaran tugas perbantuan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 66 UU TNI menyatakan bahwa TNI dibiayai dari APBN.
UU Perbantuan diperlukan untuk memastikan TNI sebagai tentara milik rakyat yang tunduk pada kekuasaan politik yang melekat pada pemimpin negara yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme ketatanegaraan. Di dalamnya melekat pula keharusan para pemimpin untuk menjadikan kepentingan dan suara rakyat sebagai pertimbangan utama dalam membentuk UU Perbantuan TNI.

Tugas Perbantuan TNI

Tugas Perbantuan TNI

2 Calon = 1 Putaran Pilpres

Perihal apakah Pemilihan Presiden (Pilpres) harus dilakukan 2 putaran apabila hanya diikuti oleh 2 pasang calon dan keduanya tidak memenuhi syarat perolehan paling sedikit 20% di setengah jumlah provinsi kembali mengemuka walaupun telah ada dan diputus oleh MK saat Pilpres 2014. MK memutus bahwa Pilpres putaran kedua tidak diperlukan apabila hanya diikuti oleh 2 pasang calon. Penentuan calon terpilih adalah berdasarkan perolehan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan persebaran perolehan suara minimal 20% di setengah jumlah provinsi.

 

2 Calon = 1 Putaran

PENGUMUMAN PEMBIMBINGAN AKADEMIK

1. KRS dilakukan secara online.

2. Validasi KRS juga akan dilakukan secara online tanpa harus bertemu secara langsung, kecuali:

a. bimbingan akademik yang IP di bawah 3,00;

b. masa studi telah melebihi 4 tahun; dan/atau

c. mahasiswa yang ingin melakukan konsultasi akademik.

3. Mahasiswa pada angka 2 huruf a dan/atau b yang tidak bertemu langsung, KRS tidak akan divalidasi.

4. Jadwal konsultasi akademik sebagai berikut:

Senin/7 Januari 2019, Pkl. 13.00 – 15.00

Selasa/8 Januari 2019, Pkl. 09.00 – 11.00

Kamis/10 Januari 2019, Pkl. 09.00 – 11.00

Logika Deduksi dan Tugas

DEDUKSI

Batasan Masa Jabatan (Wakil) Presiden

Batasan Masa Jabatan (Wakil) Presiden

Caleg Mantan Terpidana Korupsi

Caleg Mantan Terpidana Korupsi

Calon Kepala Daerah Tersangka

Calon Kepala Daerah Tersangka

HTN DIH 3

rapport_SPSC_en_final reforms of the judicial maps

Essentials of a Modern State Judicial System

EXECUTION OF DECISIONS OF THE ADMINISTRATIVE COURT